Waktu Mulai & Berakhir Takbiran
a. Takbiran Idul Fitri
Takbiran pada saat idul fitri dimulai sejak maghrib malam tanggal 1 syawal sampai selesai shalat ‘id.
Hal ini berdasarkan dalil berikut:
1. Allah berfirman, yang artinya:
“…hendaklah kamu mencukupkan
bilangannya (puasa) dan hendaklah kamu mengagungkan Allah (bertakbir)
atas petunjuk-Nya yang diberikan kepadamu.” (Qs. Al Baqarah: 185)
Ayat ini menjelaskan bahwasanya ketika orang sudah selesai
menjalankan ibadah puasa di bulan Ramadlan maka disyariatkan untuk
mengagungkan Allah dengan bertakbir.
2. Ibn Abi Syaibah meriwayatkan bahwa Nabi
shallallahu ‘alaihi wa sallam
keluar rumah menuju lapangan kemudian beliau bertakbir hingga tiba di
lapangan. Beliau tetap bertakbir sampai sahalat selesai. Setelah
menyelesaikan shalat, beliau menghentikan takbir. (HR. Ibn Abi Syaibah
dalam Al Mushannaf 5621)
Keterangan:
1. Takbiran idul fitri dilakukan dimana saja dan kapan saja. Artinya tidak harus di masjid.
2. Sangat dianjurkan untuk memeperbanyak takbir ketika menuju lapangan. Karena ini merupakan kebiasaan Nabi
shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para sahabat. Berikut diantara dalilnya:
- Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam keluar rumah menuju
lapangan kemudian beliau bertakbir hingga tiba di lapangan. Beliau tetap
bertakbir sampai sahalat selesai. Setelah menyelesaikan shalat, beliau
menghentikan takbir. (HR. Ibn Abi Syaibah dalam Al Mushannaf)
- Dari Nafi: “Dulu Ibn Umar bertakbir pada hari id (ketika keluar
rumah) sampai beliau tiba di lapangan. Beliau tetap melanjutkan takbir
hingga imam datang.” (HR. Al Faryabi dalam Ahkam al Idain)
- Dari Muhammad bin Ibrahim (seorang tabi’in), beliau mengatakan:
“Dulu Abu Qotadah berangkat menuju lapangan pada hari raya kemudian
bertakbir. Beliau terus bertakbir sampai tiba di lapangan.” (Al Faryabi dalam Ahkam al Idain)
b. Takbiran Idul Adha
Takbiran Idul Adha ada dua:
1. Takbiran yang tidak terikat waktu (Takbiran Mutlak)
Takbiran hari raya yang tidak terikat waktu adalah takbiran yang
dilakukan kapan saja, dimana saja, selama masih dalam rentang waktu yang
dibolehkan.
Takbir mutlak menjelang idul Adha dimulai sejak tanggal 1 Dzulhijjah
sampai waktu asar pada tanggal 13 Dzulhijjah. Selama tanggal 1 – 13
Dzulhijjah, kaum muslimin disyariatkan memperbanyak ucapan takbir di
mana saja, kapan saja dan dalam kondisi apa saja. Boleh sambil berjalan,
di kendaraan, bekerja, berdiri, duduk, ataupun berbaring. demikian
pula, takbiran ini bisa dilakukan di rumah, jalan, kantor, sawah, pasar,
lapangan, masjid, dst. Dalilnya adalah:
a. Allah berfirman, yang artinya:
“…supaya mereka berdzikir (menyebut) nama Allah pada hari yang telah ditentukan…” (Qs. Al Hajj: 28)
Allah juga berfirman, yang artinya:
“….Dan berdzikirlah (dengan menyebut) Allah dalam beberapa hari yang berbilang…” (Qs. Al Baqarah: 203)
Tafsirnya:
- Yang dimaksud berdzikir pada dua ayat di atas adalah melakukan takbiran
- Ibn Abbas radhiyallahu ‘anhuma mengatakan: “Yang dimaksud
‘hari yang telah ditentukan’ adalah tanggal 1 – 10 Dzulhijjah, sedangkan
maksud ‘beberapa hari yang berbilang’ adalah hari tasyriq, tanggal 11,
12, dan 13 Dzulhijjah.” (Al Bukhari secara Mua’alaq, sebelum hadis
no.969)
- Dari Sa’id bin Jubair dari Ibn Abbas, bahwa maksud “hari yang telah
ditentukan” adalah tanggal 1 – 9 Dzulhijjah, sedangkan makna “beberapa
hari yang berbilang” adalah hari tasyriq, tanggal 11, 12, dan 13
Dzulhijjah. (Disebutkan oleh Ibn Hajar dalam Fathul Bari 2/458, kata Ibn Mardawaih: Sanadnya shahih)
b. Hadis dari Abdullah bin Umar, bahwa Nabi
shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
“Tidak
ada amal yang dilakukan di hari yang lebih agung dan lebih dicintai
Allah melebihi amal yang dilakukan di tanggal 1 – 10 Dzulhijjah. Oleh
karena itu, perbanyaklah membaca tahlil, takbir, dan tahmid pada hari
itu.” (HR. Ahmad & Sanadnya dishahihkan Syaikh Ahmad Syakir)
c. Imam Al Bukhari mengatakan:
“Dulu Ibn Umar dan Abu Hurairah
pergi ke pasar pada tanggal 1 – 10 Dzulhijjah. Mereka berdua mengucapkan
takbiran kemudian masyarakat bertakbir disebabkan mendengar takbir
mereka berdua.” (HR. Al Bukhari sebelum hadis no.969)
d. Disebutkan Imam Bukhari:
“Umar bin Khatab pernah bertakbir di
kemahnya ketika di Mina dan didengar oleh orang yang berada di masjid.
Akhirnya mereka semua bertakbir dan masyarakat yang di pasar-pun ikut
bertakbir. Sehingga Mina guncang dengan takbiran.” (HR. Al Bukhari sebelum hadis no.970)
e. Disebutkan oleh Ibn Hajar bahwa Ad Daruqutni meriwayatkan:
“Dulu Abu Ja’far Al Baqir (cucu Ali bin Abi Thalib) bertakbir setiap selesai shalat sunnah di Mina.” (
Fathul Bari 3/389)
2. Takbiran yang terikat waktu
Takbiran yang terikat waktu adalah takbiran yang dilaksanakan setiap
selesai melaksanakan shalat wajib. Takbiran ini dimulai sejak setelah
shalat subuh tanggal 9 Dzulhijjah sampai setelah shalat Asar tanggal 13
Dzulhijjah. Berikut dalil-dalilnya:
a.
Dari Umar bin Khattab radhiyallahu ‘anhu, bahwa beliau dulu
bertakbir setelah shalat shubuh pada tanggal 9 Dzulhijjah sampai setelah
dluhur pada tanggal 13 Dzulhijjah. (Ibn Abi Syaibah & Al Baihaqi dan sanadnya dishahihkan Al Albani)
b.
Dari Ali bin Abi Thalib radhiyallahu ‘anhu, bahwa beliau
bertakbir setelah shalat shubuh pada tanggal 9 Dzulhijjah sampai ashar
tanggal 13 Dzulhijjah. Beliau juga bertakbir setelah ashar. (HR Ibn Abi Syaibah & Al Baihaqi. Al Albani mengatakan: “Shahih dari Ali
radhiyallahu ‘anhu“)
c.
Dari Ibn Abbas radhiyallahu ‘anhu, bahwa beliau bertakbir
setelah shalat shubuh pada tanggal 9 Dzulhijjah sampai tanggal 13
Dzulhijjah. Beliau tidak bertakbir setelah maghrib (malam tanggal 14
Dzluhijjah). (HR Ibn Abi Syaibah & Al Baihaqi. Al Albani mengatakan: Sanadnya shahih)
d.
Dari Ibn Mas’ud radhiyallahu ‘anhu, bahwa beliau bertakbir
setelah shalat shubuh pada tanggal 9 Dzulhijjah sampai ashar tanggal 13
Dzulhijjah. (HR. Al Hakim dan dishahihkan An Nawawi dalam
Al Majmu’)
Lafadz Takbir
Tidak terdapat riwayat lafadz takbir tertentu dari Nabi
shallallahu ‘alaihi wa sallam. Hanya saja ada beberapa riwayat dari beberapa sahabat yang mencontohkan lafadz takbir. Diantara riwayat tersebut adalah:
Pertama, Takbir Ibn Mas’ud
radhiyallahu ‘anhu. Riwayat dari beliau ada 2 lafadz takbir:
أ- اللَّهُ أَكْبَرُ، اللَّهُ أَكْبَرُ، لاَ إِلَهَ إِلاَّ الله ُ، وَاللَّهُ أَكْبَرُ، اللَّهُ أَكْبَرُ وللهِ الْحَمْدُ
ب- اللَّهُ أَكْبَرُ، اللَّهُ أَكْبَرُ، اللَّهُ أَكْبَرُ، لاَ إِلَهَ إِلاَّ الله ُ، اللَّهُ أَكْبَرُ وللهِ الْحَمْدُ
Keterangan:
Lafadz: “Allahu Akbar” pada takbir Ibn Mas’ud boleh dibaca dua kali atau tiga kali. Semuanya diriwayatkan Ibn Abi Syaibah dalam
Al Mushannaf.
Kedua, Takbir Ibn Abbas
radliallahu ‘anhuma:
اللَّهُ أَكْبَرُ، اللَّهُ أَكْبَرُ، اللَّهُ أَكْبَرُ، وَلِلَّهِ الْحَمْدُ، اللَّهُ أَكْبَرُ وَأَجَلُّ
اللَّهُ أَكْبَرُ، عَلَى مَا هَدَانَا
Keterangan:
Takbir Ibn Abbas diriwayatkan oleh Al Baihaqi dan sanadnya dishahihkan Syaikh Al Albani.
Ketiga, Takbir Salman Al Farisi
radhiyallahu ‘anhu:
اللَّهُ أَكْبَرُ، اللَّهُ أَكْبَرُ، اللَّهُ أَكْبَرُ كَبِيْرًا
Keterangan: Ibn Hajar mengatakan: Takbir Salman Al Farisi
radhiyallahu ‘anhu diriwayatkan oleh Abdur Razaq dalam Al Mushanaf dengan sanad shahih dari Salman.
Catatan Penting
As Shan’ani mengatakan: “Penjelasan tentang lafadz takbir sangat
banyak dari berberapa ulama. Ini menunjukkan bahwa perintah bentuk
takbir cukup longgar. Disamping ayat yang memerintahkan takbir juga
menuntut demikian.”
Maksud perkataan As Shan’ani adalah bahwa lafadz takbir itu longgar,
tidak hanya satu atau dua lafadz. Orang boleh milih mana saja yang dia
suka. Bahkan sebagian ulama mengucapkan lafadz takbir yang tidak ada
keterangan dalam riwayat hadis.
Allahu A’lam.
Kebiasaan yang Salah Ketika Takbiran
Ada beberapa kebiasaan yang salah ketika melakukan takbiran di hari raya, diantaranya:
a. Takbir berjamaah di masjid atau di lapangan
Karena takbir yang sunnah itu dilakukan sendiri-sendiri dan tidak
dikomando. Sebagaimana disebutkan dalam riwayat Anas bin Malik bahwa
para sahabat ketika bersama nabi pada saat bertakbir, ada yang sedang
membaca Allahu akbar, ada yang sedang membaca
laa ilaaha illa Allah, dan satu sama lain tidak saling menyalahkan… (
Musnad Imam Syafi’i 909)
Riwayat ini menunjukkan bahwa takbirnya para sahabat tidak seragam. Karena mereka bertakbir sendiri-sendiri dan tidak berjamaah.
b. Takbir dengan menggunakan pengeras suara
Perlu dipahami bahwa cara melakukan takbir hari raya tidak sama
dengan cara melaksanakan adzan. Dalam syariat adzan, seseorang
dianjurkan untuk melantangkan suaranya sekeras mungkin. Oleh karena itu,
para juru adzan di zaman Nabi
shallallahu ‘alaihi wa sallam
seperti Bilal, dan Abdullah bin Umi Maktum ketika hendak adzan mereka
naik, mencari tempat yang tinggi. Tujuannya adalah agar adzan didengar
oleh banyak orang. Namun ketika melakukan takbir hari raya, tidak
terdapat satupun riwayat bahwa Bilal naik mencari tempat yang tinggi
dalam rangka melakukan takbiran. Akan tetapi, beliau melakukan takbiran
di bawah dengan suara keras yang hanya disengar oleh beberapa orang di
sekelilingnya saja.
Oleh karena itu, sebaiknya melakukan takbir hari raya tidak
sebagaimana adzan. Karena dua syariat ini adalah syariat yang berbeda.
c. Hanya bertakbir setiap selesai shalat berjamaah
Sebagaimana telah dijelaskan bahwa takbiran itu ada dua. Ada yang
terikat waktu dan ada yang sifatnya mutlak (tidak terikat waktu). Untuk
takbiran yang mutlak sebaiknya tidak dilaksanakan setiap selesai shalat
fardlu saja. Tetapi yang sunnah dilakukan setiap saat, kapan saja dan di
mana saja.
Ibnul Mulaqin mengatakan: “Takbiran setelah shalat wajib dan yang
lainnya, untuk takbiran Idul Fitri maka tidak dianjurkan untuk dilakukan
setelah shalat, menurut pendapat yang lebih kuat.” (
Al I’lam bi Fawaid Umadatil Ahkam: 4/259)
Amal yang disyariatkan ketika selesai shalat jamaah adalah berdzikir
sebagaimana dzikir setelah shalat. Bukan melantunkan takbir. Waktu
melantunkan takbir cukup longgar, bisa dilakukan kapanpun selama hari
raya. Oleh karena itu, tidak selayaknya menyita waktu yang digunakan
untuk berdzikir setelah shalat.
d. Tidak bertakbir ketika di tengah perjalanan menuju lapangan
Sebagaimana riwayat yang telah disebutkan di atas, bahwa takbir yang
sunnah itu dilakukan ketika di perjalanan menuju tempat shalat hari
raya. Namun sayang sunnah ini hampir hilang, mengingat banyaknya orang
yang meninggalkannya.
e. Bertakbir dengan lafadz yang terlalu panjang
Sebagian pemimpin takbir sesekali melantunkan takbir dengan bacaan yang sangat panjang. Berikut lafadznya:
الله أكبر كَبِيرًا وَالْحَمْدُ لِلَّهِ
كَثِيرًا وَسُبْحَانَ اللَّهِ بُكْرَةً وَأَصِيلًا لَا إلَهَ إلَّا اللَّهُ
وَلَا نَعْبُدُ إلَّا إيَّاهُ مُخْلِصِينَ لَهُ الدِّينَ وَلَوْ كَرِهَ
الْكَافِرُونَ لَا إلَهَ إلَّا اللَّهُ وَحْدَهُ صَدَقَ وَعْدَهُ وَنَصَرَ
عَبْدَهُ وَهَزَمَ الْأَحْزَابَ وَحْدَهُ…
Takbiran dengan lafadz yang panjang di atas tidak ada dalilnya.
Allahu a’lam.
***
Referensi: http://muslim.or.id/fiqh-dan-muamalah/takbiran-hari-raya.html